580 Anggota DPR RI Dilantik, Bagaimana Peta Kekuatan Parpol – Adakah Oposisi?

2 Oktober 2024, 15:03 WIB

Peta Parlemen (Legislatif)

KIM Plus adalah Koalisi Indonesia Maju yang intinya digawangi oleh Prabowo dan Jokowi. Terdiri dari hampir semua partai minus PDI-P.

Ya, di sini perlu digarisbawahi, bahwa antara Prabowo dan Jokowi kompak, dalam arti politik sebagai tukar tambah legacy Jokowi akan dilanjutkan hampir seratus persen oleh Prabowo. Apakah demikian, tentu tidak! Dilihat dari haluan Prabowo dan konstruksi APBN 2025 dan seterusnya, Prabowo dan Jokowi pada akhirnya 99 persen berpisah, bukan soal penghianatan, tetapi nyingsetnya APBN buah dari kebijakan.

Kemudian, apakah partai seperti Golkar, PAN, Nasdem, PKB, PPP, yang disinyalir kuat disandera oleh Jokowi dengan salah satunya muncul list “Bani Sprindik”, apakah akan berporos ke Jokowi, tentu tidak. Pasalnya, arah angin kekuasaan jelas sudah berganti arah, yakni ke Prabowo. Terlebih Partai Golkar yang chemistry politik dan romantisme masa lalunya adalah sama-sama di Golkar.

Maka, partai-partai di atas bukan lagi digenggam erat oleh Jokowi, melainkan Prabowo. Lihatlah, bahwa; Bang Brewok yang dulu juga mantan Golkar, PAN yang awalnya juga pendukung Prabowo, dan Prabowo yang mampu menggaransi rasa nyaman dan aman posisi ideologis PKB dari spektrum kanan dan kiri, juga PPP yang bila kembali ke jati diri ideologis akan nyaman pula bersama Prabowo. Selain tentunya kesemua partai di atas berbicara kue kekuasaan.

Untuk PKS, yang sedari awal sudah berporos ke Prabowo, kala Prabowo masih berada di barisan oposisi, PKS selalu setia, apalagi setelah Prabowo mendapatkan kekuasaan, justru semakin lekat, tak mungkin akan berbalik arah mengambil posisi oposisi, seperti stigma PKS yang kritis.

Lantas, bagaimana sang figur super paternalistik bergenre ideologi Soekarno, yakni Megawati Soekarnoputri, sang ketua umum PDI-P mengambil posisi. Apakah bergabung di pemerintahan Prabowo, atau sebaliknya akan mengkritisi kebijakan Prabowo (oposisi), meski hanya sendiri, dengan perimbangan kekuatan 470 kursi melawan 110 kursi — 81% vs 19%.

Di sinilah harapannya, bahwa PDI-P seharusnya mengambil peran oposisi. Yang mana penyelenggaraan kekuasaan harus selalu diingatkan. Karena kredo politik kekuasaan yang tidak dibatasi cenderung disalahgunakan dan disimpangi , sebagaimana ungkapan dari Lord Acton “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, itu salah satu ancamannya.

Namun begitu, tidak tertutup kemungkinan pula bahwa akhirnya PDI-P pun turut bergabung ke partai pemerintah. Pasalnya, bukan sekedar jatah menteri atau kue kekuasaan saja bagi PDI-P sebagai argumennya, tetapi lebih ke kepentingan strategi partai ke depan. Bila begitu, maka 100 persen parlemen mendukung pemerintahan Prabowo, dan tidak ada lagi kamus oposisi, atau dalam konteks fungsi, tak ada lagi kontroling kekuasaan. 

Tentu ini berbahaya, karena tinggal mengandalkan goodwill kekuasaan, yang mana ini berat, mengingat desakan oligarki dan globalis yang terus menyandera Indonesia dengan haluan liberal kapitalistik dengan desain pembangunan bermodel “pembangunanismeglobalnomics“. Desain ini yang kontra dengan Pancasila. Dan di sinilah hal terberat Prabowo, menguji nyali dan integritas Prabowo sebagai negarawan dengan jargon; cinta tanah air, Soekarno kecil, net outflow of national wealth, dan panji-panji kedaulatan dan kemandirian lainnya.

Namun begitu, kuatnya kepemimpinan Prabowo juga tidak bisa dijustifikasi akan dibawa kembali ke era orde baru. Proses peta jalannya hingga keputusan Prabowo dalam proses menuju kekuasaan tidaklah demikian, termasuk rela bergabung dengan kekuasaan. Tetapi memang akhirnya, semuanya mengarah ke Prabowo yang menempatkannya berada di puncak tunggal kekuasaan secara alami/organik. Memang, inilah fenomena Prabowo.

Seperti contohnya, bahwa dugaan kuat Putusan MK hal syarat threshold Pilkada, adalah peran serta Prabowo. Tentu ini dibaca, bahwa Prabowo tetap menjaga nyala demokrasi, yang mana hak warga negara/partai politik dalam kepesertaan Pilkada menjadi terbuka, tidak sesak mendapatkan tiket. Inilah ruh dari kebebasan demokrasi.

Kembali ke PDI-P. Lantas chemistry seperti apa bahwa Megawati/PDI-P logis untuk bergabung ke Prabowo. Bahwa; tidak ada hal yang menggugurkan bahwa selama ini ada kekecewaan antara Mega dan Prabowo. Prabowo tidak punya masalah atau sakit hati dengan siapa pun. Dikotomi orde lama dan orde baru, atau Soekarno vs Soeharto, tidak bisa direpresentasikan ke dalam tubuh Prabowo yang dipaksakan melekat dengan orde baru, meski Prabowo adalah mantu Soeharto.

Ingat, bahwa Prabowo rela berpisah dengan istrinya, gegara Prabowo dan Soeharto berbeda cara pandang. Selanjutnya, bahwa Prabowo adalah Soekarno kecil, tercermin dari haluan Prabowo/Gerindra pada masa sebelum bergabung dengan Jokowi, yang mana Prabowo gencar membumikan semangat kedaulatan, seperti halnya cita-cita Tri Sakti Bung Karno. Di sinilah, justru jalan memurnikan perjuangan Soekarno oleh Mega/PDI-P pantas dipercayakan kepada Prabowo. Pasalnya, PDI-P harus kembali ke marwahnya, lantaran modeling pembangunan liberal kapitalistik yang diusung Jokowi melalui pintu PDI-P telah menjadikan ruh Soekarno menjauh dari cita-cita. Bahkan dugaan kuat, PDI-P akan dikudeta Jokowi.

Selain itu, tentu keniscayaan bagi keluarga banteng, bahwa bersama Prabowo akan ada jaminan tidak ada pembegalan partai. Dalam arti, Prabowo tidak akan membegal PDI-P atau menyandera kadernya dengan strategi tukar tambah sprindik, karena goodwill Prabowo. Maka, masa depan PDI-P secara struktural hingga kaderisasi di dalamnya justru ada penguatan, sekalipun Mega, misalnya meninggal dunia.

Dengan begitu, maka kolaborasi Prabowo dan Megawati, tidak semudah dijustifikasi sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang tanpa oposisi, absolut, otoriter (otoritarian), tetapi memanglah perjalanan Indonesia mengalami fase titik temu yang manunggal untuk benar-benar membangun peradaban Indonesia berdasarkan tujuan konstitusional.

Sedangkan Jokowi juga tidak begitu saja dilupakan, sebagai pembelajaran bangsa atas modeling pembangunan yang dihadirkannya, yang kemudian menjadikan legacy Jokowi auto tidak bisa dilanjutkan, karena nir tujuan konstitusional, dibawa ke poros liberal. Di sini terlihat, bahwa; bagi Prabowo, melawan Jokowi adalah sesuatu yang mustahil, tetapi justru mengalah dalam proses menuju kekuasaan, maka seolah-olah Prabowo pro liberal dengan menanggalkan panji-panji kedaulatan, adalah strategi halus Prabowo.

Kenyataannya seperti apa, kita tunggu arah haluan kepemimpinan Prabowo setelah dilantik pada 20 Oktober mendatang sebagai Presiden RI.

Daftar …

Terkait

Terkini