Bengawan Solo, Melintas Area dan Lini Masa (2)

Hal tersebut diperkuat lagi dengan pembangunan kawasan kota oleh Belanda yang tidak bertumpu lagi di sepanjang tepian sungai dan sungai Bengawan Solo. Belanda telah banyak membangun berbagai utilitas kota yang menyebar ke berbagai penjuru.

5 Maret 2022, 08:48 WIB

Nusantarapedia.net , Jurnal | Pekerjaan Umum — Bengawan Solo, Melintas Area dan Lini Masa

… Dilalui oleh kapal-kapal besar yang melewati jalur sungai dari dan menuju pelabuhan di utara Jawa. Hal ini untuk menghubungkan Wwtan dengan kerajaan-kerajaan di Swarnadwipa (Sumatra), khususnya Sriwijaya.

Sungai ini oleh VOC dinamakan sungai Semanggi atau Semangy dalam pengucapan bahasa Belanda, sebelumnya bernama Wuluyu atau Wulayu. Pada jaman kerajaan Pajang oleh Prabu Hadiwijaya 1568 -1580, sungai ini bernama Bengawan Sore. Bengawan Sore menjadi ajang pertempuran antara Pajang vs Jipang Panolan. Pihak Pajang di pimpin oleh Ki Pemanahan dan Ki Penjawi dengan senopatinya Danang Sutawijaya, pihak kadipaten Jipang (Blora) dipimpin oleh Arya Penangsang.

Pertempuran tersebut di menangkan oleh pihak Pajang. Atas kemenangan tersebut Prabu Hadiwijaya memberikan hadiah alas Mentaok kepada Danang Sutawijaya, yang selanjutnya melahirkan dinasti Mataram, sebagai cikal bakal kerajaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta saat ini.

Sebelumnya, pemberontakan Jipang kepada Pajang didasari kekecewaan Arya Penangsang yang berhak atas takhta raja kelanjutan Demak. Namun Joko Tingkir lebih cerdas dan berhasil memindahkan Demak ke Pajang.

Pada waktu Joko Tingkir masih mengabdi di Demak, Sungai Bengawan Solo dijadikan transportasi utama Joko Tingkir dalam mobilitasnya dari daerah Pajang-Pengging-Salatiga menuju Demak atau kota-kota di pesisir utara Jawa.

Legenda kesaktian dan kehebatan Joko Tingkir yang berhasil memindahkan Demak, dengan serangkaian cerita perjalanan Joko Tingkir melalui sungai Bengawan Solo dengan perahunya yang penuh rintangan menuju Demak. Joko Tingkir mengalahkan banyak buaya, perampok, hingga berhasil menjadi petinggi militer di kerajaan Demak, diabadikan dalam tembang Sigra Milir. Namun tembang tersebut digubah sesudah era Pajang, diduga diciptakan pada era Mataram, atau bahkan era Mataram Kartosuro.

Kronik Kali Opak, dalam Romantisme, Manajemen Air dan Gempa (1)

Kota Solo dan Jembatan Lama Jurug

Solo dari masa ke masa tidak pernah terputus jejak sejarahnya. Meskipun berada pada cekungan yang berpotensi banjir, namun letak kota Solo sangat strategis.

Kota Solo menghubungkan kota-kota di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Dari pusat kota Solo menuju arah selatan dan barat daya akan bertemu kota Yogyakarta. Menuju daerah barat akan sampai di wilayah kota Salatiga dan Magelang dalam kawasan Kedu dan sekitarnya. Menuju barat laut akan sampai di kota Semarang, sedangkan letak kota-kota di daerah eks- kawedanan Pati berada di utara kota Solo. Sedangkan kota-kota di daerah Jawa Timur seperti wilayah Surabaya dan Kediri-Tulungagung berada di timur kota Solo. Solo merupakan jalur trans Jawa yang berada di tengah menjorok ke selatan.

Kota Solo juga di sangga oleh sungai-sungai lain yang bermuara di Bengawan Solo. Kali Kabanaran, Kali Pepe, Kali Jenes adalah drainase alami sebelum semuanya bermuara di Bengawan Solo. Tanpa keberadaan sub sungai tersebut, banjir sulit dikendalikan.

Sungai Bengawan Solo yang jelas sudah di gunakan untuk jalur perdagangan sejak era Mataram kuno, mempunyai banyak bandar pelabuhan di anak sungai tersebut, yakni; Bandar Kabanaran di Laweyan, Bandar Pecinan di Kali Pepe, Bandar Arab di Kali Jenes dan Bandar Nusupan di Semanggi.

Namun, kesemua bandar tersebut kini tidak lagi tersisa, akibat pendangkalan pada anak sungai tersebut dan sungai Bengawan Solo sendiri. Kapal-kapal besar dari pelabuhan di pantura tidak bisa lagi melalui sungai Bengawan Solo, begitu juga kapal kecil dan perahu yang meramaikan bandar-bandar tersebut di dermaga anak sungai juga kandas.

Hal tersebut diperkuat lagi dengan pembangunan kawasan kota oleh Belanda yang tidak bertumpu lagi di sepanjang tepian sungai dan sungai Bengawan Solo. Belanda telah banyak membangun berbagai utilitas kota yang menyebar ke berbagai penjuru.

Pembangunan utilitas kota oleh Belanda di dasari dari seiring berkembangnya sistem transportasi melalui jalur darat dengan kereta api. Akibatnya, pembangunan infrastruktur terus menjadi fokus pembangunan sebagai fungsi transportasi agar efektif dan efisien. Maka, di bangunnya stasiun kereta api, jalan-jalan dan utamanya pembangunan jembatan-jembatan yang menjadikan model paling efektif dan efisien, baik jembatan untuk jalur kereta api maupun jembatan penyeberangan orang.

Dalam kesimpulannya, terjadi perubahan bentuk morfologi kota. Dengan demikian, sungai Bengawan Solo dan anak sungai di dalamnya sebagai fungsi pelabuhan, dermaga, bandar dagang dan moda transportasi umum akhirnya pelan-pelan mati dengan sendirinya.

Salah satu perencanaan tata ruang kota, planologi dan keseluruhan pekerjaan umum di dalamnya dengan maksud menjadikan kota metropolis yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, konsep tersebut terus digalakkan oleh pemerintahan Hindia Belanda.

Untuk mewujudkannya, pemerintahan Hindia Belanda mengajak kepada pemerintahan lokal (raja/kerajaan) bentukannya untuk bersinergi dalam membangun kawasan kota. Skenario ini berlaku menyeluruh di semua kota-kota negara jajahan Hindia Belanda.

Atas dasar tersebut, lahirlah jembatan Jurug yang menghubungkan kota-kota di barat dan timur sungai Bengawan Solo. Terutama mobilitas dari timur seperti kota-kota dari karesidenan Madiun hingga Surabaya yang akan berkepentingan ke kota Solo.

Jembatan Jurug Lama saat ini terletak di perbatasan kota Solo dengan kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Wilayah Solo masuk di Kelurahan Jebres, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta, terletak di bagian barat sungai. Sedangkan di timur sungai masuk Desa Ngringo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar.

Jembatan ini berada persis di timur pintu masuk Taman Satwataru Jurug. Areal taman tersebut merupakan obyek wisata kebun binatang, berada di sepanjang sempadan sungai Bengawan Solo. Namun sayang, demi keamanan, keindahan sungai Bengawan Solo tidak bisa dinikmati dari kawasan kebun binatang Jurug, karena teras-teras sungainya telah ditanggul di sepanjang DAS yang terhubung langsung dengan ruang kota.

Tahun 1913 semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono X bersama Residen Surakarta F.P. Sollewijn Gelpke, mulai membangun jembatan ini. Diresmikan oleh keduanya pada tahun 1915.

Jembatan Jurug Lama merupakan jembatan tipe gelagar baja komposit dengan plat lantai kayu. Konstruksi jembatan ini mempunyai 5 bentang dengan panjang 92,2 m. Memiliki bentang tengah 50 m pada panjang jembatan, lebar 5 m, tebal perkerasan 7 cm, tebal slab beton rencana 15 cm, berat jenis beton 2,4 t/m3, berat jenis aspal 2,2 t/m3, berat jenis besi tuang 7,1 t/m3, berat jenis air 1 t/m3, dan jarak balok memanjang 1 m (Silvia Yulita Ratih, dkk, 2012: 42).

Sejak pembangunannya, jembatan ini telah berumur 109 tahun. Terdapat beberapa kerusakan di beberapa titik, kondisi eksisting Jembatan Jurug selain faktor umur, disebabkan karena banjir dan zat-zat kimia yang mengikis pondasi/struktur jembatan. Oleh karena itu jembatan ini hanya boleh dilalui pejalan kaki dan sepada motor. Kendaraan roda empat tidak diperbolehkan, karena aksesnya sengaja di tutup.

Jembatan Jurug Lama membujur dari barat ke timur, bersama tiga deret jembatan lainnya, Jembatan Jurug Lama berada paling utara. Disampingnya (selatan) di sebelah jembatan lama telah dibangun jembatan baru (jembatan tengah), di sebelahnya lagi di bangun jembatan baru lagi, terletak di bagian paling selatan.

Dengan demikian terdapat Tiga Jembatan Jurug, disebut dengan Triple Bridges Jurug. Jembatan Jurug Tengah dikhususkan untuk pengendara dari arah barat ke timur, dari kota Solo menuju Karanganyar dan Sragen. Sedangkan jembatan paling selatan juga dengan sistem satu jalur dari arah timur ke barat menuju kota Solo.

Sungai Bengawan Solo, sebegitu pentingnya dalam konteks sejarah peradaban bangsa Jawa. Perlunya arif dan bijaksana dalam memperlakukan sungai sebagai fungsi ekologi alam, yang mana sewaktu-waktu akan terus terjadi perubahan-perubahan berdasarkan mekanisme alam atas mekanisme yang alami maupun akibat dari intervensi manusia.

Stop membuang sampah, apalagi membuang limbah beracun pabrik ke sungai, mendorong terjadinya sedimentasi, dan sebagainya. Tidak ada artinya mengebut pembangunanisme demi alasan kemakmuran yang pada akhirnya justru menyengsarakan manusia itu sendiri.

Perlu kiranya juga integrasi kewilayahan untuk menjaga ekosistem sungai, morfologi dan pekerjaan umum lainnya yang bertujuan untuk kepentingan sungai itu sendiri secara internal dan eksternal sebagai maksud pengelolaan dan pemanfaatan di dalamnya. Manajemen sungai adalah manajemen air, harus terintegrasi secara menyeluruh dengan upaya pelestarian hutan, rencana tata ruang kawasan hulu dan hilir, hingga aspek sosiologis lainnya yang mana menjadi kesatuan nafas kehidupan di Bengawan Solo.

Selesai

Kepustakaan;

DEPARTEMEN KEHUTANAN, Februari 2009. Rencana Tindak DAS Melalui RHL di Bagian Hulu DAS Solo dalam Rangka Pengendalian Banjir dan Tanah Longsor.

Utomo YW. Pantai Sadeng, Mengunjungi Muara Bengawan Solo Purba.

Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 35, No. 1, Juli 20017: 80-87. Ratih, Silvia Yulita., & Safarizki, Hendramawat Aski. (2012).

Qomarun & Prayitno, Budi. (2007). Morfologi Kota Solo (Tahun 1500-2000).

Bengawan Solo, Melintas Area dan Lini Masa (1)
Gunung Sewu dalam Literasi Bumi dan Budaya Mataraman (1)

Terkait

Terkini